Kamis, 25 Oktober 2007

SEKOLAH VS NETWORK MARKETING

Sekolah, sebagai tempat pembelajaran sekaligus mencerdaskan, tidak perlu digugat-gugat lagi. Siapapun orangnya, dari mulai wong cilik sampai presidenpun mengakui andil sekolah sangat besar. Tanpa sekolah, tanpa guru, sulitlah seseorang itu bisa cerdas dan pintar.
Hanya saja, dalam era globalisasi saat ini, ditandai kemajuan teknologi yang membuat beberapa sector pekerjaan lenyap, mau tak mau paradigma sekolah juga harus berubah. Ijasah sekolah, katakan saja gelar, tidak lagi menjadi “primadona” untuk menghantarkan seseorang bekerja di perusahaan, punya gaji besar dan pelbagai fasilitas lain.
Sebaliknya, sekolah harus cepat mereformasi dirinya sebagai – selain mencerdaskan tadi, juga menumbuhkan semangat kewirausahaan. Inilah yang sering dikumandangkan pelbagai kalangan, mengingat kontribusi sekolah dalam mencetak pengangguran terdidik, juga punya andil besar, walaupun tanggungjawab sepenuhnya berada pada negara dalam merealisir amanat konstitusi.
Justru sangat kontras, bila kita menoleh pada network marketing. Walau tidak mensyaratkan ijasah – terbuka bagi siapa saja untuk menggelutinya, aroma bisnis ini sangat kental membangun kemandirian bagi pelakunya, terutama entrepreneurship. Bahkan, network marketing pula, sebagai ajang pembuktian bahwa entrepreneur merupakan sebuah perilaku, bukan gejala kepribadian.
Karena perilaku, maka entrepreneur bisa dicontek dan ditiru oleh semua orang, belajar dari mereka yang telah sukses, terlepas apapun bisnis yang digelutinya.
Di network marketing, perilaku mencontek dan meniru itu menjadi denyut nadi dari bisnis ini, baik dalam seminar, pelatihan-pelatihan yang digelar perusahaan maupun para leader tersebut. Jadi tidak semata-mata harus punya modal besar dan cerdas untuk menjadi seorang entrepreneur. Bahkan seperti dikatakan oleh pengusaha nyentrik Bob Sadino, modal itu urutan ke seratus. Sedang keberanian dan kemauan menjadi prioritas utama.
Hasilnya, karena meniru dan mencontek itu, maka network marketing terbilang banyak merubah hidup pelakunya, termasuk cara berpikir dalam memandang kesuksesan dan kegagalan. Kedua hal itu merupakan proses kehidupan yang tak bisa dielakkan, selalu ada dalam pelbagai kehidupan. Pelaku di bisnis ini justru dibenturkan berani menghadapi kesalahan hingga akhirnya menjadi cerdas secara emosional.
Sekolahpun, tanpa mesti malu, sebenarnya dapat mengakomodir pembelajaran network marketing. Caranya selain mengundang pengusaha menjadi dosen, juga menjalin kerjasama erat dengan industri dalam rangka mengenalkan kehidupan sesungguhnya di luar sekolah maupun kampus. Dengan begitu, siswa tak hanya dibekali teori-teori, tapi juga pengalaman dalam menata kehidupannya kelak.
Dan belajar dari kehidupan itulah pelajaran yang sebenar-benarnya yang dirasakan oleh para networker dalam menjadikan bisnisnya sebagai kendaraan merubah hidupnya di masa mendatang.

1 komentar:

Agan Babe mengatakan...

http://eusalatiga.blogspot.com
lam kenal..heheheh...tonggo dewe